TIMES BANDUNG, JAKARTA – PT Aneka Tambang Tbk (Antam) kembali menjadi sorotan publik terkait langkah strategisnya memenuhi kebutuhan emas domestik. Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto, mengungkapkan bahwa perusahaan mengimpor sekitar 30 ton emas dari Singapura dan Australia. Langkah ini ditempuh untuk menutup kekurangan pasokan emas di dalam negeri, di tengah permintaan masyarakat yang terus meningkat.
“Kebutuhan masyarakat tinggi, sementara sumber domestik tidak mencukupi. Jadi, impor menjadi opsi terakhir,” ujar Ardianto saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Senin (29/9/2025) di Senayan.
Produksi Domestik Masih Terbatas
Tambang emas milik Antam yang berlokasi di Pongkor, Jawa Barat, saat ini hanya mampu memproduksi sekitar 1 ton emas per tahun. Bandingkan dengan realisasi penjualan tahun 2024 yang mencapai 43 ton, dan target tahun ini sebesar 45 ton. Kekurangan pasokan ini jelas menunjukkan ketidakseimbangan antara produksi domestik dan konsumsi nasional.
Strategi internal Antam untuk menutup kesenjangan pasokan mencakup mekanisme buyback, yaitu membeli kembali emas dari masyarakat untuk dicetak ulang. Namun, kapasitas buyback hanya mencapai 2,5 ton per tahun—masih jauh dari kebutuhan 45 ton. Upaya lain, berupa negosiasi dengan perusahaan-perusahaan pemurni emas lokal, juga jarang membuahkan hasil. Pajak dan tidak adanya kewajiban penjualan kepada Antam menjadi kendala utama.
Ketergantungan pada Impor dan Dampak Ekonomi
Dari perspektif ekonomi, keputusan Antam mengimpor emas menegaskan fakta bahwa Indonesia masih bergantung pada pasar global untuk memenuhi kebutuhan strategis. Impor emas, meskipun memenuhi kebutuhan jangka pendek, memiliki beberapa implikasi.
Pertama, Defisit Neraca Perdagangan. Setiap ton emas impor menyumbang arus keluar devisa. Dengan impor 30 ton, nilai tukar rupiah terpapar fluktuasi harga emas internasional, yang dapat memengaruhi stabilitas moneter. Kedua, Pengaruh Harga Domestik. Ketergantungan pada pasar global membuat harga emas di dalam negeri rentan terhadap volatilitas global. Kenaikan harga emas di pasar internasional secara langsung mendorong harga jual Antam, seperti terlihat pada lonjakan Rp16.000/gram pada akhir pekan lalu.
Ketiga, Efisiensi Industri Tambang Domestik. Ketidakmampuan Antam memenuhi kebutuhan domestik dari produksi lokal menjadi sinyal bahwa industri pertambangan emas Indonesia perlu efisiensi dan ekspansi kapasitas. Investasi dalam teknologi ekstraksi dan peningkatan cadangan tambang menjadi keharusan agar ketergantungan impor bisa dikurangi.
Keempat, Keseimbangan Pasar dan Supply Chain. Antam hanya membeli emas dari perusahaan yang terafiliasi dengan London Bullion Market (LBMA), sehingga pasokan emas menjadi lebih aman dan terstandarisasi. Namun, hal ini menegaskan keterikatan Indonesia dengan sistem perdagangan emas global, yang di satu sisi memberikan kepastian kualitas, tetapi di sisi lain menambah biaya dan risiko eksternal.
Antam dan Peran Strategis di Pasar Domestik
Ardianto menegaskan bahwa Antam bukanlah eksportir emas. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan tambang lain di Indonesia yang mengekspor emas ke luar negeri. Hal ini menegaskan posisi Antam sebagai penyedia emas domestik, sekaligus buffer supply emas nasional.
Dari perspektif kebijakan publik, langkah ini menunjukkan perlunya strategi nasional untuk kemandirian emas. Pemerintah bisa mendorong beberapa langkah: peningkatan produksi tambang domestik, insentif bagi pemurnian emas lokal, dan regulasi yang memudahkan perusahaan seperti Antam memperoleh pasokan dari tambang dalam negeri. Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia akan terus menghadapi ketergantungan impor yang sensitif terhadap gejolak harga global.
Kesimpulan: Antam di Persimpangan Pasar Global dan Nasional
Impor 30 ton emas oleh Antam bukan sekadar operasi bisnis, tetapi refleksi dari kondisi pasar domestik yang belum seimbang. Sementara permintaan masyarakat melonjak, produksi lokal masih terbatas. Ketergantungan pada pasar internasional menghadirkan tantangan ekonomi, dari risiko neraca perdagangan hingga volatilitas harga emas domestik.
Langkah Antam ini juga menyoroti perlunya sinergi antara industri, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk membangun ketahanan emas nasional. Dengan strategi yang tepat, Indonesia berpotensi mengurangi ketergantungan impor, menstabilkan harga domestik, dan memaksimalkan manfaat ekonomi dari sumber daya alamnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Antam Impor 30 Ton Emas, Implikasi Ekonomi dan Tantangan Kemandirian Sumber Daya Alam
Pewarta | : Antara |
Editor | : Imadudin Muhammad |