TIMES BANDUNG, BANDUNG – Indonesia hari ini hidup berdampingan dengan irama alam yang kian tak menentu. Banjir datang tanpa aba-aba, longsor merobek perkampungan, kekeringan memanjangkan antrean air bersih, sementara gunung api sesekali mengingatkan manusia bahwa bumi bukan sekadar ruang produksi.
Di tengah lanskap krisis ekologis ini, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi kelompok paling rentan terjepit antara kerusakan lingkungan dan ketidakpastian ekonomi.
Ketika rantai produksi terganggu dan pasar menyusut, muncul pertanyaan mendasar: model pembangunan seperti apa yang mampu menjaga denyut ekonomi rakyat tanpa mempercepat kerusakan alam?
Di sinilah ekonomi hijau tidak lagi layak diperlakukan sebagai jargon akademik, melainkan sebagai kebutuhan praksis. Ekonomi hijau bukan sekadar tentang pertumbuhan, tetapi tentang keberlanjutan, bagaimana manusia belajar hidup cukup, bukan serakah.
Ironisnya, ekonomi hijau sering dipersepsikan jauh dari realitas UMKM. Ia dianggap mahal, rumit, dan elitis. Padahal, di kawasan geopark Indonesia, prinsip-prinsip ekonomi hijau justru tengah diuji secara nyata melalui apa yang disebut sebagai geoproduk. Produk-produk ini lahir dari sumber daya lokal, diproduksi dengan kearifan setempat, dan dipasarkan dengan menonjolkan narasi ruang asalnya.
Ketika UMKM mampu mengemas cerita tentang tanah, batuan, sejarah, dan budaya yang melatarbelakangi produknya, geopark tak lagi sekadar ruang konservasi. Ia menjelma menjadi panggung kebangkitan ekonomi lokal lebih lentur menghadapi bencana, lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan.
Makanan tradisional, kerajinan tangan, hingga produk edukatif yang lahir dari kawasan geopark sesungguhnya telah lama menjadi denyut ekonomi masyarakat. Yang kerap tertinggal adalah cara memaknainya.
Pemikiran ini sejalan dengan Ivana Butolo (2022) dalam Development of Micro, Small, and Medium Enterprises Through Geoproducts for Geopark Gorontalo. Ia menegaskan bahwa geopark adalah ruang sinergi antara keragaman geologi, hayati, dan budaya untuk tujuan konservasi, edukasi, serta pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dari sinilah geoproduk menemukan relevansinya produk yang tidak hanya dijual, tetapi juga bercerita.
Sayangnya, banyak geoproduk masih dipasarkan secara konvensional. Mereka bergantung pada kehadiran wisatawan dan pasar lokal yang terbatas. Ketika bencana datang atau kunjungan menurun, roda ekonomi pun tersendat. Potensi besar geopark akhirnya terkurung dalam ruang sempit distribusi.
Narasi Lokal sebagai Daya Hidup
Hasil Penelitian Hibah Terapan yang didanai Kemendiktisaintek 2025, yang dilakukan penulis bersama Prof. Dr. Mohamad Sapari Dwi Hadian, Budhi Pamungkas Gautama, M.Sc., dan Dr. Eka Surachman, menunjukkan bahwa kebangkitan UMKM geopark tidak cukup dicapai dengan meningkatkan volume produksi. Kunci utamanya justru terletak pada strategi geo-marketing cara memasarkan produk dengan menonjolkan lokasi, narasi geologi, dan identitas kawasan sebagai nilai jual.
Shweta Saini dan Rohit Bansal (2023) dalam Geo-Marketing: A New Tool for Marketers menegaskan bahwa geo-marketing memungkinkan pelaku usaha mengidentifikasi ceruk pasar secara presisi melalui pemetaan lokasi konsumen.
Strategi ini membuat pemasaran tidak lagi berbasis tebakan, melainkan berbasis data.
Dalam konteks geoproduk, geo-marketing mengubah barang dagangan menjadi medium cerita.
Sebuah makanan tidak lagi sekadar mengenyangkan, tetapi menjadi “narasi rasa” yang membawa jejak batuan purba, lanskap alam, dan kearifan budaya. Inilah diferensiasi yang dicari konsumen modern keaslian, keberlanjutan, dan makna di balik produk.
Pendekatan ini semakin relevan di tengah krisis iklim global. Konsumen tidak lagi sekadar membeli barang, tetapi juga nilai. Mereka ingin tahu dari mana produk berasal, bagaimana ia dibuat, dan dampak apa yang ditinggalkannya bagi lingkungan.
Dalam penelitian ini, strategi geo-marketing diperkuat melalui pengembangan aplikasi berbasis AI dan GIS sebagai alat bantu UMKM. Aplikasi ini membantu pelaku usaha memetakan lokasi usahanya, mengenali sebaran pasar potensial, dan menyesuaikan strategi promosi berdasarkan karakter wilayah dan konsumen. UMKM pun tidak lagi berjalan dalam gelap, tetapi melangkah dengan kompas data.
Lebih dari sekadar alat pemasaran, aplikasi geo-marketing menjadi jembatan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan pemetaan yang akurat, UMKM dapat memperluas pasar tanpa mendorong eksploitasi berlebihan terhadap alam. Di sinilah ekonomi hijau menemukan bentuk nyatanya ekonomi yang tumbuh sambil menjaga keseimbangan.
Dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), penguatan geoproduk melalui geo-marketing berkontribusi pada SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab), serta SDG 15 (Ekosistem Daratan). Geopark menjadi bukti bahwa krisis lingkungan dan tantangan ekonomi tidak harus diselesaikan secara terpisah.
Ke depan, tantangan terbesar adalah literasi digital dan adopsi strategi ini oleh UMKM secara luas. Di titik inilah kolaborasi antara akademisi, pemerintah daerah, dan pengelola geopark menjadi keniscayaan. Tanpa sinergi, inovasi hanya akan berhenti sebagai laporan riset, bukan gerakan perubahan. (*)
***
*) Oleh : Dr. Ayu Krishna Yuliawati, S.Sos., M.M., Dosen Universitas Pendidikan Indonesia dan Penerima Hibah Terapan Kemendiktisaintek 2025.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |