TIMES BANDUNG, BANDUNG – Indonesia adalah negeri yang hidup di atas cincin api, dengan potensi bencana yang setiap saat bisa menguji kesiapan warganya. Dari gempa bumi, letusan gunung, banjir, hingga longsor, semua itu bukan lagi sekadar potensi, tetapi kenyataan yang berulang dari tahun ke tahun. Dalam konteks itulah lahir gagasan besar yang kini digarap serius di Lembang, Jawa Barat: menjadikan sekolah rakyat sebagai basis ketangguhan menghadapi bencana.
Inisiatif ini digagas Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial atau BBPPKS Lembang bersama berbagai pemangku kepentingan. Kepala BBPPKS, Drs. Iyan Kusmadiana, MPS.Sp. menegaskan bahwa langkah ini sudah menjadi program prioritas nasional. Menurutnya, sekolah rakyat memiliki karakteristik unik karena di dalamnya ratusan siswa tinggal dalam sistem asrama. Artinya, jika terjadi bencana, risiko yang mengancam jauh lebih kompleks dibanding sekolah reguler. Karena itu, konsep kesiapsiagaan harus dirancang lebih matang, dengan skenario menyeluruh mulai dari tahap pra, saat, hingga pascabencana.
Hingga kini, tercatat sudah ada lebih dari 100 titik sekolah rakyat yang menjadi rintisan, dan jumlah itu ditargetkan bertambah menjadi 165 pada akhir September. Lembang dipilih sebagai lokasi percontohan karena wilayah ini berdekatan dengan sesar Lembang serta berhadapan dengan potensi erupsi Gunung Tangkuban Parahu. Fakta itu menjadi alasan mengapa kesiapsiagaan bencana mutlak diajarkan sejak dini kepada para siswa. “Jika model di Lembang berhasil, maka akan direplikasi di sekolah rakyat lainnya di seluruh Indonesia,” kata Iyan.
Keterlibatan berbagai pihak memperkuat langkah ini. Selain Kementerian Sosial, hadir pula BNPB, BMKG, Klaster Nasional Penanggulangan Bencana, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, serta akademisi dari Poltekesos. Kolaborasi lintas lembaga ini tidak sekadar simbol, tetapi wujud nyata keroyokan bersama membangun ketangguhan. Mereka sepakat membentuk tim formatur untuk menyusun instrumen, modul, serta pedoman praktis agar sekolah rakyat benar-benar siap menghadapi bencana.
Ketua Umum MPBI sekaligus Koordinator Shelter Klasnas PP, Dr. Alvianto, menyoroti perbedaan mendasar antara sekolah rakyat dengan sekolah reguler. Anak-anak di sekolah rakyat tinggal 24 jam penuh di lingkungan asrama, sehingga tantangan bencana bisa datang kapan saja, bahkan di tengah malam. Risiko kebakaran, gempa, longsor, atau ancaman lainnya harus diantisipasi dengan panduan teknis yang jelas. Audit risiko bencana pun akan dilakukan secara menyeluruh, meliputi keberadaan titik kumpul, rambu evakuasi, alarm peringatan dini, hingga simulasi evakuasi. “Dengan daftar ceklis sederhana, pengelola sekolah rakyat bisa menilai kapasitas dan kerentanannya secara mandiri,” ujarnya, Selasa (16/09/2025).
Komitmen yang sama datang dari PIC Kegiatan Pekerja Sosial Ahli Madya Dr.Dra.Sunarti., M.Si.. Ia menegaskan bahwa semua unsur yang hadir, mulai dari BNPB, BMKG, hingga organisasi masyarakat, menunjukkan keseriusan mendukung lahirnya model kesiapsiagaan di sekolah rakyat. Bahkan sudah dibentuk grup komunikasi untuk mempercepat tindak lanjut, termasuk menyusun modul dan acuan yang kelak bisa diterapkan di 164 sekolah rakyat. “Kami melihat semua komponen sangat berkomitmen, tinggal menyiapkan instrumen agar bisa segera dijadikan role model,” tegasnya.
Dukungan juga datang dari wilayah lain. Kepala BBPPKS Regional 5 Makassar, Ana Puspasari, M.Si., menyebut pihaknya memiliki 16 sekolah rakyat yang menghadapi ancaman berbeda, mulai dari banjir hingga tanah bergerak. Ia menilai inisiatif dari Lembang sangat relevan untuk direplikasi di daerahnya. Lebih jauh, ia berharap kurikulum mitigasi bencana bisa disinergikan dengan kurikulum sekolah rakyat, sehingga kepala sekolah, guru, dan siswa memiliki pemahaman yang sama. Dengan begitu, anak-anak tidak hanya mampu melindungi diri sendiri, tetapi juga bisa menyebarkan pengetahuan kepada keluarga saat pulang berlibur.
Apa yang dilakukan di Lembang ini menjadi penting bukan hanya untuk Jawa Barat, melainkan juga untuk Indonesia secara keseluruhan. Dengan ribuan potensi bencana yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, kesiapan generasi muda menjadi kunci agar korban jiwa bisa ditekan seminimal mungkin. Pendidikan mitigasi bencana di sekolah rakyat akan melahirkan anak-anak yang tenang, terlatih, dan tahu persis apa yang harus dilakukan saat bencana datang.
Inisiatif sekolah rakyat siaga bencana ini juga merupakan jawaban atas tantangan zaman. Di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem, ancaman bencana semakin sering muncul tak terduga. Sudah saatnya pemerintah, lembaga, dan masyarakat bahu membahu menanamkan budaya sadar bencana sejak dini. Apa yang dirintis di Lembang adalah bukti bahwa kesiapan tidak bisa ditunda, karena bencana tidak pernah memberi tanda.
Kini, pekerjaan rumahnya adalah memastikan gagasan besar ini berjalan konsisten, bukan hanya berhenti sebagai wacana. Modul, simulasi, dan audit risiko harus benar-benar diterapkan. Lebih dari itu, seluruh elemen bangsa harus melihat bahwa sekolah rakyat siaga bencana bukan sekadar proyek, tetapi investasi besar untuk keselamatan generasi mendatang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: BBPPKS Lembang Inisiasi Program Kesiapan Bencana SR, Bangun Pilar Ketangguhan di Tengah Ancaman Alam
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Deasy Mayasari |