https://bandung.times.co.id/
Berita

Menapaki Laku Sunyi di Petilasan Sri Aji Joyoboyo Kediri

Sabtu, 01 November 2025 - 20:22
Menapaki Laku Sunyi di Petilasan Sri Aji Joyoboyo Kediri Sudut petilasan Sri Aji Joyoboyo (FOTO: Yobby Lonard/TIMES Indonesia)

TIMES BANDUNG, KEDIRI – Langit mulai menguning ketika kami tiba di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Udara sore itu berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga dari halaman sebuah situs yang kerap disebut warga sebagai Petilasan Sri Aji Joyoboyo. Di sinilah, menurut keyakinan masyarakat Jawa, Prabu Jayabaya—raja besar Kerajaan Panjalu atau Kediri—pernah moksa, meninggalkan dunia fana menuju kesempurnaan abadi.

Namun perjalanan kami bukan sekadar menapaki situs sejarah. Petilasan ini bukan hanya batu tua atau reruntuhan masa lampau; ia hidup sebagai ruang spiritual, tempat manusia Jawa memaknai hubungan antara takdir dan usaha, antara doa dan kesiapan diri. Banyak peziarah datang untuk berbagai maksud: memohon ketenangan batin, menata hidup, hingga mencari jodoh—laku yang bagi sebagian orang terdengar mistik, tapi bagi masyarakat sini adalah bentuk ikhtiar yang suci.

Ritual dan Doa di Tengah Hening Malam

Menjelang malam Jumat Legi, suasana petilasan berubah menjadi sakral. Kami menyaksikan orang-orang datang membawa bunga tujuh rupa, dupa, dan kendi tanah liat berisi air. Di bawah sinar remang minyak kelapa, mereka duduk bersila dalam diam. Tak ada suara, hanya desir angin di sela pepohonan dan bisikan doa yang mengambang.

Kami berjumpa dengan Mbah Mukri, juru kunci yang sudah puluhan tahun menjaga petilasan ini. Sosok sepuh berwajah teduh itu menyapa dengan senyum yang dalam. Di teras kecil dekat pendopo, ia bercerita tentang laku para peziarah.

“Banyak yang datang ke sini dengan niat mencari jodoh,” katanya perlahan, sambil menyalakan dupa. “Tapi yang lebih penting bukan sekadar doa, melainkan kesiapan diri. Karena yang tidak siap, jodohnya bisa lewat begitu saja,” ujarnya saat ditemui TIMES Indonesia, Jumat (31/10/2025).

Ucapan itu seperti nasihat halus yang keluar dari seorang guru. Dalam pandangan Mbah Mukri, semua laku di Petilasan Joyoboyo adalah perjalanan batin, bukan sekadar ritual mistis. Tapa bisu, semedi, atau berendam di sumber air hanyalah sarana untuk menyelami diri sendiri. “Bagaimana mungkin seseorang menemukan pasangan sejati,” lanjutnya, “kalau belum berdamai dengan dirinya sendiri?”

Sendang Tirto Kamandanu: Air yang Menyucikan Niat

Keesokan paginya, kami menuju Sendang Tirto Kamandanu, sebuah kolam alami di sisi timur petilasan. Airnya jernih, dingin, dan memantulkan bayangan daun-daun tua di atasnya. Mbah Mukri menuturkan bahwa sendang ini dulunya menjadi tempat mandi dan ruwatan Sri Aji Jayabaya sebelum sang raja menjalani tapa brata.

“Airnya membawa berkah bagi siapa pun yang datang dengan niat baik,” ujarnya, menatap air sendang yang tenang. “Raja dulu juga membersihkan diri di sini sebelum lenyap dari dunia. Jadi setiap orang yang mandi di sini, bukan hanya membasuh tubuh, tapi juga melepaskan yang menempel di hati.”

Kami menyaksikan seorang perempuan muda yang dengan khidmat mencuci muka, lalu berdiam di tepi sendang. Ia tak bicara banyak, hanya menunduk lama sambil memeluk kendi kecil. Di sinilah terlihat bahwa spiritualitas Jawa bukanlah tentang permintaan, melainkan tentang penyucian niat.

Dalam filsafat Jawa, air adalah lambang kejernihan hati dan kelapangan jiwa. Maka ritual mencuci diri di sendang bukan bentuk pemujaan pada benda, melainkan simbol penyadaran diri. Saat air menyentuh kulit, seseorang seolah berkata kepada semesta: aku siap menanggalkan beban dan memulai langkah baru.

Di Bawah Pohon Beringin: Dialog Sunyi dengan Semesta

Siang berganti senja. Di halaman petilasan, berdiri sebatang pohon beringin besar yang usianya mungkin ratusan tahun. Di bawahnya, para peziarah duduk bersila, beberapa menunduk khusyuk. Kami ikut berdiam di sana, mencoba merasakan suasana yang sepi tapi berisi.

Bagi banyak orang, Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah tempat untuk “bertemu”—bukan dengan makhluk gaib, melainkan dengan diri sendiri. Laku semedi di tempat ini disebut sebagai percakapan sunyi dengan semesta. Dalam diam, seseorang mendengar hal-hal yang tidak bisa dijelaskan: suara hati, kenangan masa lalu, atau barangkali petunjuk tentang arah hidup.

Kami teringat pesan Mbah Mukri: bahwa semua yang datang dengan hati bersih akan membawa pulang sesuatu yang berharga—bukan benda, tapi ketenangan.

“Yang datang ke sini dengan tulus,” katanya, “biasanya menemukan hal baik juga setelah pulang. Kadang bukan jodoh yang datang, tapi jalan hidup yang lebih jelas.”

Bagi kami, kalimat itu terdengar seperti wejangan Jawa yang lembut namun dalam: bahwa setiap perjalanan spiritual selalu tentang menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Warisan Budaya yang Hidup

Tak hanya sebagai tempat spiritual, Petilasan Sri Aji Joyoboyo juga diakui secara resmi sebagai kekayaan intelektual komunal oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 2021. Pengakuan ini menandakan bahwa nilai budaya di tempat ini tidak sekadar diwariskan lewat mitos, tapi juga dijaga oleh negara.

Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi, menegaskan pentingnya pelestarian situs ini.

“Petilasan tersebut adalah salah satu peninggalan budaya yang harus dijaga. Ritual sesaji Sri Aji Joyoboyo sudah diakui sebagai kekayaan komunal,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemerintah daerah berupaya menjaga kawasan petilasan agar tetap menjadi destinasi wisata spiritual Kediri yang beretika dan edukatif. Setiap pengunjung diimbau menjaga ketenangan tempat, tidak membawa pulang benda apa pun, dan menghormati tata laku masyarakat sekitar.

Kami melihat para pengurus membersihkan area pendopo, menata bunga di altar, dan memastikan tidak ada sampah tertinggal. Semua dilakukan dengan penuh rasa hormat, seolah situs ini bukan hanya tempat, tapi roh budaya yang hidup di tengah masyarakat.

Jejak Abadi Sang Raja

Sejarah mencatat, Sri Aji Joyoboyo dikenal sebagai raja yang adil, bijak, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Ramalannya tentang masa depan Nusantara—yang dikenal sebagai Jangka Jayabaya—masih sering dikutip hingga kini. Tapi di balik semua legenda itu, sosok Joyoboyo juga mengajarkan laku hidup yang sederhana: kesabaran, keikhlasan, dan keseimbangan.

Bagi masyarakat Kediri, petilasan ini bukan sekadar tempat bersejarah. Ia adalah penanda nilai-nilai kebijaksanaan Jawa yang tak lekang waktu. Dan bagi kami, jurnalis yang datang menapaki jejaknya, tempat ini seperti cermin yang memantulkan kembali siapa diri kita sebenarnya.

Mungkin di sinilah letak kekuatan spiritual Jawa—bukan pada keajaiban yang bisa dilihat, tapi pada kesadaran yang dirasakan. Bahwa dalam setiap perjalanan hidup, selalu ada ruang untuk menepi, merenung, dan kembali menyelaraskan langkah dengan semesta.

Petilasan Joyoboyo, Ruang Hening di Tengah Dunia yang Riuh

Menulis kisah ini, kami sadar bahwa Petilasan Sri Aji Joyoboyo Kediri lebih dari sekadar destinasi wisata spiritual. Ia adalah simbol pencarian manusia akan makna—entah itu cinta, ketenangan, atau jawaban dari doa yang tak terucap.

Mereka yang datang mungkin berharap akan jodoh atau keberuntungan, tetapi seperti pesan Mbah Mukri, yang sesungguhnya ditemukan di sini adalah ketenangan hati dan kesiapan diri. Karena dalam ajaran Jawa, semua sudah digariskan; tugas manusia hanyalah meniti takdir dengan hati yang bersih.

Dan ketika kami meninggalkan Desa Menang sore itu, cahaya matahari menembus sela pepohonan, membentuk bayangan di jalan tanah. Entah kebetulan atau pertanda, tapi seolah alam sedang mengucap pesan lembut: bahwa setiap perjalanan, bahkan yang sunyi sekalipun, selalu membawa kita pulang pada diri sendiri.(*)

Pewarta : Yobby Lonard Antama Putra
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bandung just now

Welcome to TIMES Bandung

TIMES Bandung is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.