https://bandung.times.co.id/
Berita

Begini Fakta di Balik Rumitnya Tata Niaga Benur di Pacitan

Jumat, 30 Mei 2025 - 14:08
Begini Fakta di Balik Rumitnya Tata Niaga Benur di Pacitan Penandatanganan lintas sektor usai rilis kembali benur ilegal ke laut lepas di Pacitan. (Foto: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

TIMES BANDUNG, PACITAN – Rumitnya regulasi tata niaga benih bening lobster (benur) di Kabupaten Pacitan kian menjadi sorotan.

Di tengah sistem perizinan yang berlapis dan minimnya keterlibatan SDM lokal dalam budidaya, harga benur justru terjun bebas hingga menyentuh angka Rp2 ribuan per ekor.

Situasi ini membuat sebagian besar nelayan di wilayah pesisir memilih berhenti melaut karena tak lagi mampu menutup biaya operasional.

Kepala Dinas Perikanan Pacitan, Bambang Marhendrawan, tidak menampik masih banyak kelompok usaha bersama (KUB) yang belum mengantongi surat izin resmi meski sudah beraktivitas.

“Bukan kecolongan, karena KUB yang mengajukan izin ke kita. Saat ini jumlah KUB yang sudah mengantongi izin ada 25,” ujar Bambang, Sabtu (30/5/2025).

Namun menurutnya, izin penangkapan benur saja tidak cukup. Proses distribusi dan tata niaga juga harus mengikuti aturan yang berlaku.

“Meskipun resmi, itu kan KUB atau nelayan penangkapnya. Tapi kalau mobilitas tata niaganya tidak sah, ya tetap jadi masalah. Transportasi itu sangat riskan karena harus ada surat jalan. Itu kewenangan pemkab, dan harus ada pengajuan dari mereka,” terangnya.

Ia menjelaskan, pengurusan surat jalan untuk pengangkutan benur melibatkan beberapa tahapan, termasuk penghitungan, penentuan jenis, verifikasi data, hingga pencantuman pre-order dari Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kelautan.

Selain itu, koperasi yang menjadi penghubung antara nelayan dan pasar ekspor pun wajib memiliki izin resmi.

“Retribusi yang masuk ke Dinas Perikanan dari satu ekor benur sebesar Rp50. Itu untuk penghitungan dan penentuan jenis sebagai dasar penerbitan surat jalan,” imbuhnya.

Menurut Bambang, regulasi ini tertuang dalam Peraturan Daerah dan hanya bisa ditinjau ulang setiap dua hingga tiga tahun sekali. Ia menyadari regulasi ini masih baru dan butuh waktu untuk diterima masyarakat.

“Kita juga harus berpihak kepada nelayan, sambil terus mengedukasi mereka pelan-pelan, ” ujarnya.

Ia menambahkan, kualitas benur dari Pacitan dikenal sangat baik. Karena itu, Dinas Perikanan tengah menjajaki kerja sama dengan investor dari Vietnam dan China untuk pengembangan budidaya lokal.

“Kita harapkan nantinya hasil tangkapan nelayan bisa tertampung lebih maksimal,” tambahnya. Namun, saat ini kendala utama adalah minimnya SDM dan keterampilan budidaya di tingkat lokal.

Harga Benur Anjlok

Sementara itu, para nelayan di Pacitan tengah menghadapi krisis. Harga benur yang semula stabil di angka Rp10 ribu per ekor, kini jatuh ke level Rp2.500, bahkan sempat menyentuh Rp1.500 di tingkat nelayan.

“Anjlok drastis. Kalau beberapa bulan lalu harga masih Rp10 ribu, pasca Lebaran kemarin harganya tinggal Rp2.500, bahkan pernah Rp1.500,” ungkap salah seorang nelayan benur di Pacitan, Fatkhanudin secara terpisah. 

Ia menyebut penurunan harga diduga akibat penumpukan stok di pusat penampungan, namun nelayan kesulitan mendapat informasi yang jelas. “Katanya karena stok membludak, tapi kita juga nggak tahu pasti. Nggak ada transparansi soal penyaluran benur,” tambahnya.

Kondisi ini berdampak langsung pada penghasilan nelayan yang bahkan tak cukup menutup modal. “Sangat berpengaruh. Kadang malah rugi. Hasilnya nggak cukup buat nutup biaya operasional,” ujarnya.

Akibatnya, hampir separuh nelayan memilih berhenti melaut sementara. Hanya sebagian kecil yang tetap nekat turun ke laut dengan harapan ada momen benur muncul dalam jumlah besar.

“Banyak yang berhenti. Mereka cuma ngandalin momen pas benur keluar banyak. Tapi tetap, penghasilan utama ya dari laut,” tuturnya.

Fatkhanudin mengungkapkan, dampak terparah adalah pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga. “Pendapatan dari benur itu biasanya buat muterin kebutuhan rumah tangga. Sekarang seret semua,” ungkapnya.

Sayangnya, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah. Ia berharap ada upaya stabilisasi harga dan kejelasan tata niaga yang berpihak pada nelayan.

“Belum ada bantuan sama sekali. Harapannya pemerintah bisa menstabilkan harga, biar kita bisa kerja lagi dan muterin modal,” katanya.

Sistem penjualan benur saat ini mengharuskan nelayan menjual lewat koperasi dengan sejumlah biaya administrasi. Ironisnya, harga jual di jalur resmi justru lebih rendah dibandingkan praktik ilegal.

“Jualnya harus lewat koperasi dan bayar retribusi. Tapi anehnya, harga di jalur kiri tanpa izin malah bisa lebih tinggi. Nggak ngerti juga kenapa bisa begitu,” pungkasnya.

Infografis: Rumitnya Tata Niaga Benur di Pacitan

Alur Legal Tata Niaga Benur:

1. Nelayan → Pengepul → Koperasi (berizin)
2. Koperasi → Ajukan surat jalan ke Pemkab
3. Dinas Perikanan: Hitung jenis benur, verifikasi
4. Harus ada pre-order dari BLU Kementerian Kelautan
5. Ekspor hanya lewat BLU

Komponen Biaya Benur Legal:

Harga di BLU: Rp8.500
PNBP: Rp3.000–Rp4.000
Koperasi: ±Rp5.000
Nelayan: Dapat sisa harga
Retribusi Dinas: Rp50 per ekor

Kondisi Terkini:

Harga benur turun jadi Rp2.500–Rp1.500
- Sekitar 50 persen nelayan berhenti melaut
- Tidak ada bantuan pemerintah
- Sistem dianggap tidak adil oleh nelayan

Harapan Nelayan:

- Pemerintah stabilkan harga
- Fasilitasi pelatihan budidaya benur
- Perjelas sistem distribusi. (*)

Pewarta : Yusuf Arifai
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bandung just now

Welcome to TIMES Bandung

TIMES Bandung is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.