TIMES BANDUNG, BANDUNG – Pesan itu kini terasa semakin menggema di tengah derasnya arus informasi. Dunia sedang berada di persimpangan antara kebenaran dan kebohongan, antara data dan manipulasi, antara fakta dan opini yang dibungkus algoritma. Di sinilah santri diuji: mampukah mereka menjadi penjaga nalar dan moral di era pertarungan digital?
Kita hidup di masa ketika kebenaran tak lagi berdiri di atas fakta, melainkan di atas engagement. Era yang sering disebut sebagai zaman post-truth algorithm ketika algoritma media sosial menjadi wasit sekaligus algojo bagi apa yang dianggap penting. Semakin sering muncul di linimasa, semakin dianggap benar.
Tarleton Gillespie dan David Beer pernah menyebut algoritma bukan sekadar alat teknis, melainkan “aktor sosial” yang memediasi relasi manusia dengan dunia digital. Ia memilihkan mana informasi yang terlihat dan mana yang tenggelam. Dengan begitu, ia juga ikut menentukan siapa yang didengar dan siapa yang dibungkam.
Kita sudah melihat bagaimana algoritma bekerja dalam kasus tayangan televisi tentang seorang kiai yang disebut menghina pesantren besar di Indonesia. Tayangan itu langsung memantik reaksi luas di media sosial.
Gelombang protes dan pembelaan muncul dari kalangan santri, kiai, hingga alumni pesantren. Tapi yang menarik, pertempuran sesungguhnya justru terjadi bukan di layar kaca, melainkan di ruang digital: perang narasi, framing, dan trending.
Siapa yang mampu menguasai algoritma, dialah yang tampak benar. Maka, kebenaran hari ini tidak lagi sekadar soal isi pesan, tapi juga tentang siapa yang mampu mengemas dan menyebarkannya.
Santri di Persimpangan Digital
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi kalangan santri. Sebab, perjuangan hari ini tidak lagi berlangsung di medan fisik, tetapi di jagat maya yang penuh distraksi dan bias informasi. Santri mesti hadir di sana bukan sekadar jadi penonton, tapi jadi pelaku yang aktif menjaga etika dan kebenaran.
Dakwah kini tak lagi cukup disampaikan dari mimbar, tapi juga melalui timeline, video pendek, dan kolom komentar. Dakwah digital bukan sekadar soal teknologi, tapi soal tanggung jawab moral di ruang publik baru.
Menguasai algoritma tidak berarti tunduk padanya. Justru sebaliknya, santri harus mampu menundukkan algoritma agar berpihak pada kebaikan. Mengisinya dengan konten yang menyejukkan, mendidik, dan mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil’alamin.
Seperti kata Kiai Acung, asisten Gus Dur, bahwa Gus Dur tak menginginkan pesantren hanya hadir sebagai bangunan fisik. Ia ingin pesantren hidup dalam denyut kehidupan masyarakat. Maka, kehadiran santri di dunia digital adalah bagian dari napas panjang perjuangan pesantren itu sendiri.
Dari Literasi ke Kecakapan Digital
Istilah “Santri Cakap Digital” kini bukan sekadar jargon program pemerintah, melainkan kebutuhan zaman. Santri harus naik kelas dari sekadar konsumen informasi menjadi produsen pengetahuan. Ia perlu memahami logika media sosial, beradaptasi dengan kecerdasan buatan (AI), serta memiliki literasi kritis agar tak terperangkap dalam hoaks dan polarisasi.
Membaca kitab kuning dan membaca algoritma, sejatinya memiliki semangat yang sama: mencari makna di balik teks. Keduanya menuntut kedalaman berpikir, ketekunan, dan kecerdasan moral. Maka, santri tidak perlu takut terhadap dunia digital justru harus menjadikannya ladang dakwah baru.
Ketika santri mampu menampilkan wajah Islam yang teduh di ruang maya, saat itu pula pesantren sedang berbicara kepada dunia dengan bahasa baru: bahasa algoritma yang menebarkan kedamaian.
Ruang digital kini menjadi gelanggang pertarungan nilai. Di sanalah para santri harus berdiri tegak membawa bekal etika, ilmu, dan adab yang diwariskan pesantren. Jika dulu perjuangan santri diwujudkan lewat darah dan doa, maka kini perjuangan itu hadir lewat scroll, klik, dan konten.
Santri yang mengaji hari ini adalah santri yang juga cakap digital. Ia tidak lagi hanya menjaga tradisi, tapi juga membangun peradaban. Sebab di balik layar ponsel, ada ruang perjuangan baru yang menunggu disentuh dengan cahaya pesantren.
Dan ketika santri mampu menjadi penggerak kebaikan di dunia algoritma, pesan Buya Said Aqil bukan sekadar kutipan, tapi kenyataan yang hidup di zaman ini.
***
*) Oleh : Rangga Julian Hadi, Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Bandung dan Pengurus IKA PMII Kabupaten Bandung.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |