https://bandung.times.co.id/
Opini

Mewujudkan Kelas Kreatif Gen Z di Era Disrupsi

Rabu, 04 Juni 2025 - 09:09
Mewujudkan Kelas Kreatif Gen Z di Era Disrupsi Nabiela Rizki Alifa, S.K.Pm., MM., Lecturer in The Faculty of Islamic Business and Economics UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

TIMES BANDUNG, BANDUNG – “Bangkitnya kreativitas sebagai penggerak utama ekonomi, dan munculnya kelas sosial baru, yaitu Kelas Kreatif," Richard Florida.

Bonus demografi menjadi salah satu fenomena yang ditunggu-tunggu negara Indonesia. Terlepas dari bagaimana dampaknya nanti-yang idealnya sangat baik bagi pertumbuhan dan kemjuan negara, fenomena ini bisa menjadi sebuah dualisme mengingat usia produktif yang akan mengisi demografi tersebut didominasi oleh karakteristik tertentu dan momennya bersamaan dengan era disrupsi digital. 

Salah satu generasi yang akan menjadi bagian dari fenomena ini ialah Generasi Z yang erat kaitannya sebagai tech savvy. Generasi Z atau yang biasa disebut sebagai Gen Z lahir di tengah tengah digitalisasi yang massif. 

Mereka adalah generasi yang paling akrab dengan teknologi. Meski begitu, banyak ditemukan polarisasi karakter pada Gen Z ini yang lalu menghasilkan skill gap. 

Laju transformasi digital yang sangat cepat mengubah paradigma dunia kerja secara signifikan yang awalnya berbasis fisik kini berganti menjadi creativity-based atau value-based. 

Di masa lalu, Richard Florida yang merupakan pemikir ekonomi kontemporer dengan The Creative Class Theory nya telah memberikan gambaran akan datangnya hari ini. 

Florida menekankan bahwa yang akan dibutuhkan adalah kemampuan beradaptasi agar dapat berpikir kristis, menghasilkan nilai melalui kreativitas dan inovasi, hingga problem solving dengan menjadikan tekonologi sebagai tools sekaligus support system. 

Sayangnya, karakteristik Gen Z dan sistem pendidikan juga pelatihan yang tersedia saat ini tidak bisa menjamin bahwa labelnya sebagai tech savvy menjadikan mereka siap menjadi bagian dalam pasar kerja digital.

Persaingan di pasar kerja hari ini tidak hanya akan dirasakan Gen Z tapi bahkan sudah menjadi tantangan harian bagi para pencari kerja-kerja Gen terdahulu-milenial. Hal ini terjadi bukan karena kurangnya usaha dalam mencari kerja tapi karena adanya mismatch skill. 

Salah satu cara yang berhasil ditempuh Gen sebelumnya untuk beradaptasi dengan adanya tuntutan skill di industri digital ialah dengan melakukan upskilling dan reskilling. Upskilling pada dasarnya meningkatkan kemampuan dan kompetensi individu yang telah dimilikinya dengan lebih mendalam atau spesifik hingga menjadi seorang specialist. 

Sementara itu, reskilling dilakukan sebagai upaya membekali diri dengan keterampilan baru agar bisa pindah dan beradaptasi ke bidang maupun sektor yang dirasa lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Upskilling dan reskilling menjadi jawaban bagi Gen Z untuk bisa menghadapi pasar kerja di masa depan. Masih adanya mismatch antara kebutuhan industri dengan kurikulum pendidikan membuat Gen Z harus lebih awas dalam mempersiapkan skill, yakni dimulai sebelum lulus sekolah-pendidikan menengah maupun tinggi. 

Beragam jenis upskilling dan reskilling yang relevan dengan kebutuhan dunia digital di antaranya literasi data, komunikasi digital, kolaborasi lintas budaya, critical thinking, statistics tools, dan media. 

Dari sana terlihat bahwa kebutuhan di industri saat ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang sarat dengan IT seperti programmer ataupun graphic designer tapi dapat didefinisikan dengan lebih luas dan memiliki cakupan kerja yang lebih holistik. 

Di sisi lain, kemampuan digital yang sering kali ditemukan pada Gen Z ialah kemampuan sebagai passive user teknologi, padahal yang dibutuhkan adalah pelaku aktif yang mempu menciptakan produk atau solusi yang dibantu dengan adanya teknologi.

Bagaimana Kelas Kreatif Gen Z Diwujudkan?

Lifelong learning menjadi skema yang harus diadopsi segera oleh Gen Z. Digital competence yang telah dimiliki-sebagai passive user bisa ditransformasi atau diadaptasi melalui upaya pembelajaran tools yang produktif. 

Sebagai contoh, untuk menjadi seorang graphic designer kini cukup berbekal Canva. Meski begitu, pengguna tidak akan cukup kompeten jika tidak mempelajari secara spesifik dan mendalam setiap fitur yang bisa dioptimasi dalam Canva. 

Contoh lainnya seperti CapCut, tools yang digunakan untuk mengedit video, jangan sampai hanya digunakan untuk mengedit video untuk aktualisasi diri di media sosial saja, lebih jauh, tools ini bisa jadi lebih produktif untuk membantu pekerjaan yang memerlukan peran video editor dengan lebih sederhana dan praktis. 

Hal ini tidak bisa serta merta dibebankan pada Gen Z sebagai pengguna tapi lingkungan dna Pendidikan harus mengarahkan agar Gen Z memahami ‘how to’ dan ‘what for’ sehingga Gen Z menyadari jalan mana yang harus ditempuh untuk bisa membentuk dirinya sebagai bagian dari kelas kreatif. 

Dari sini bisa dilakukan refleksi bahwa untuk mewujudkan bonus demografi yang menghasilkan kesejahteraan dibutuhkan ekosistem yang koperatif. Tidak hanya Gen Z yang harus familiar dengan skema pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) tapi juga pemerintah dan institusi pendidikan sebagai akomodator harus turut andil. 

Beberapa hal yang bisa dilakukan di antaranya reorientasi kurikulum, evaluasi berkala kebutuhan pasar dan industri, revitalisasi program pelatihan dan keterampilan, coaching dan mentoring, hingga strategi intervensi yang menekankan fleksibilitas pendidikan dan pelatihan vokasi yang mengacu pada kebutuhan industri. 

Selain itu, keadilan juga harus diingat dan diperhatikan bahwa bonus demografi tidak hanya akan muncul di area urban tapi juga sub-urban bahkan rural. Karenanya, area ini juga harus dipastikan tercover dalam upaya pemberadayaan dan akselerasi kemampuan. 

Gen Z di desa dan kota kecil butuh akses pelatihan yang setara. Pemerintah bisa mengambil langkan dengan memberikan insentif pajak atau pendanaan untuk perusahaan yang memberikan pelatihan kerja intensif dengan membentuk learning-hub terutama dari area sub-urban dan rural. Selain itu, untuk mewujudkan pemerataan akses, bisa juga lalu dilakukan penguatan peran desa digital atau bahkan pesantren digital.

Pada akhirnya upskilling dan reskilling bukanlah pilihan melainkan kewajiban yang dibutuhkan untuk bersaing di pasar kerja dan menghasilkan kesejahteraan. Perlu diingat bahwa masa depan dan kesuksesan akan bisa dimiliki oleh mereka yang mampu beradaptasi. 

Dinamisnya dunia kerja membuat kesejahteraan hanya akan mampu dicapai oleh mereka yang mau belajar, tumbuh, mengisi ruang-ruang kosong dan mengambil setiap peluang yang ada. Gen Z adalah harapan, namun mereka juga butuh jalan dan arahan. Mari bantu mereka menyiapkan langkah, bukan sekadar menuntut hasil.(*)

***

*) Oleh : Nabiela Rizki Alifa, S.K.Pm., MM., Lecturer in The Faculty of Islamic Business and Economics UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

 

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bandung just now

Welcome to TIMES Bandung

TIMES Bandung is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.