TIMES BANDUNG – Setelah dua dekade menjadi rumah bagi musik ekstrem, Doomsday Open Air kembali hadir dengan wajah baru. Tahun 2025, festival musik metal paling legendaris di Kota Bandung itu mengusung tema “Rebirth From Ruin”. Sebuah pernyataan tentang kebangkitan, bukan hanya bagi musik keras, tapi bagi seluruh ekosistem industri musik independen di Indonesia.
Festival akan digelar pada 2 November 2025 di Lapangan Pusdikku, Gegerkalong, Kota Bandung dan menjadi penanda bahwa semangat komunitas musik bawah tanah tetap menyala meski melewati masa-masa sulit pandemi dan pergeseran tren.
“Kami ingin menunjukkan bahwa musik adalah energi yang tidak bisa dihancurkan. Dari kehancuran, lahir semangat baru — lebih besar, lebih terbuka, dan lebih hidup,” ujar Angga, penyelenggara Doomsday Open Air 2025, saat ditemui di Bandung, Sabtu (24/10/2025).
Berbeda dari edisi sebelumnya, Doomsday tahun ini tampil dengan konsep lebih progresif. Selain tetap menampilkan band-band metal ekstrem, panitia menghadirkan lintasan lintas genre dan lintas generasi — dari metal, rock alternatif, hingga indie kontemporer.
Nama-nama besar seperti BESIDE, BURGERKILL, JASAD, KOMUNAL, THE SIGIT x DENISA, hingga ALONE AT LAST akan tampil di tiga panggung utama: Apocalypse x Destruction Stage, Madness Stage, dan Intimate Stage. Masing-masing menawarkan pengalaman berbeda: dari energi ledakan di panggung utama hingga nuansa personal di arena intim.
Namun di balik gegap gempita itu, Doomsday 2025 membawa pesan yang lebih dalam. Bandung, yang selama ini dikenal sebagai kota kelahiran banyak band berpengaruh, tengah menegaskan kembali posisinya sebagai poros kreativitas nasional.
“Kita ingin menghapus batas antar genre dan generasi. Musik bukan tentang siapa paling keras atau paling populer, tapi siapa yang paling jujur dalam berkarya,” kata Dadan Wahyudi, pengamat musik independen Bandung, menilai arah baru festival ini.
Secara visual dan produksi, Doomsday Open Air 2025 disebut akan menjadi yang paling megah sepanjang sejarah penyelenggaraan. Sistem pencahayaan modern, tata suara imersif, serta dukungan seniman visual lokal akan menciptakan pengalaman multisensori yang menggabungkan musik, seni, dan narasi kebangkitan.
Festival ini juga menjadi ruang temu bagi komunitas — dari penikmat musik metal hingga penggiat ekonomi kreatif. Bagi banyak musisi muda, Doomsday bukan hanya panggung, tapi juga simbol perjuangan menjaga idealisme dalam industri yang makin kompetitif.
“Banyak yang mengira musik keras itu hanya soal amarah. Padahal di sinilah solidaritas dan kreativitas tumbuh paling tulus,” ujar salah satu penampil, vokalis band muda SUNBATH, menjelang latihan terakhir mereka.
Dengan semangat Rebirth From Ruin, Doomsday Open Air 2025 bukan sekadar festival musik. Ia adalah pernyataan budaya — bahwa Bandung, dengan segala luka dan kebangkitannya, tetap menjadi tempat di mana musik hidup, berevolusi, dan menolak mati. (*)
| Pewarta | : Djarot Mediandoko |
| Editor | : Bambang H Irwanto |