TIMES BANDUNG, BANDUNG – Suasana kampus Politeknik Negeri Bandung (Polban) siang itu tampak berbeda. Di aula utama, deretan produk hasil riset terapan dari berbagai perguruan tinggi vokasi di Jawa Barat dipamerkan. Mulai dari teknologi pengolahan hasil pertanian, alat bantu produksi pangan, hingga inovasi energi untuk pertanian berkelanjutan — semuanya lahir dari tangan-tangan mahasiswa dan dosen yang berpikir praktis: bagaimana ilmu bisa langsung membantu masyarakat.
Pameran ini bukan sekadar ajang unjuk karya, tapi wujud nyata kolaborasi dalam program Riset Berdikari 2025, yang melibatkan Polban bersama sejumlah kampus vokasi lain seperti IPB, Politeknik Negeri Subang, dan perguruan tinggi di Banten. Fokusnya jelas: memperkuat inovasi yang berpihak pada masyarakat dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Direktur Polban Marwansyah, S.E., M.Si., Ph.D., menegaskan bahwa riset kampus vokasi tak boleh berhenti di ruang laboratorium. “Ukuran keberhasilan pendidikan vokasi bukan seberapa banyak riset dilakukan, tapi sejauh mana hasilnya dirasakan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Marwansyah, selama ini Polban dan kampus vokasi lain berupaya menerjemahkan kebutuhan masyarakat Jawa Barat ke dalam proyek riset yang konkret. Dari teknologi pengering hasil tani di Garut hingga alat pengolah susu di Lembang, setiap inovasi diarahkan agar langsung bisa dipakai dan memberi nilai tambah bagi petani maupun pelaku usaha kecil.
“Kita mulai dengan apa yang bisa dilakukan, yang bisa langsung dipraktikkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tujuan akhirnya tetap sama: mendukung ketahanan pangan secara nasional,” jelasnya, Rabu (15/10/2025)
Ia menambahkan, kampus vokasi kini juga menjadi bagian penting dalam konsorsium inovasi daerah. Lewat kerja sama lintas kampus dan dukungan dari pemerintah daerah, hasil riset yang awalnya sederhana bisa berkembang menjadi solusi nyata bagi berbagai persoalan pangan di lapangan.
Sementara itu, KETUA KEGIATAN PANEN RAYA BERDIKARI EXPO 2025, Rida Hudaya, DUTech., S.T., DEA menjelaskan bahwa kegiatan riset berdikari tahun ini merupakan tindak lanjut dari program 2024, yang sebelumnya berfokus pada pembangunan ekosistem kemitraan dengan pemerintah daerah. Tahun ini, katanya, program tersebut naik level menjadi fase implementasi.
“Kalau tahun lalu kita baru tahap identifikasi kebutuhan, tahun ini hasil risetnya sudah bisa diuji coba bahkan ada yang sudah masuk tahap produksi,” kata Rida.
Ia menjelaskan, pendekatan yang dilakukan kampus vokasi berbeda dengan perguruan tinggi akademik. Riset vokasi harus aplikatif, terukur, dan cepat diimplementasikan. Itulah mengapa kolaborasi dengan dunia industri dan pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan.
“Rata-rata produk yang dikembangkan sudah diuji, diterapkan, dan bahkan siap diproduksi massal. Ini bentuk nyata dari pendidikan vokasi yang berorientasi hasil,” imbuhnya.
Dari sisi pemerintah daerah, dukungan pun datang penuh. Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Jawa Barat Andrie Kustria Wardana, S.STP., M.Si., CRBD., menyebut bahwa kolaborasi riset terapan antara kampus dan Pemprov Jabar merupakan bagian dari strategi besar ketahanan pangan daerah.
“Pemprov Jabar melalui BP2D sudah kita tugaskan untuk melakukan ‘belanja masalah’ — mengidentifikasi isu dan kebutuhan masyarakat di tiap wilayah. Dari situ, kampus vokasi bisa masuk dengan solusi berbasis riset,” jelas Andrie.
Ia menambahkan, semangat Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang kemandirian pangan sangat sejalan dengan arah riset terapan kampus vokasi. Pemprov pun menyiapkan regulasi dan dukungan kelembagaan agar hasil inovasi kampus bisa dimanfaatkan secara luas, baik oleh pemerintah kabupaten/kota maupun sektor swasta.
“Kami ingin sinergi ini berkelanjutan. Bukan hanya antara pemerintah dan kampus, tapi juga dunia usaha, komunitas, dan bahkan mitra luar negeri,” ujarnya.
Program riset berdikari di Polban ini diharapkan menjadi model kolaborasi pendidikan vokasi yang berdampak langsung bagi masyarakat. Selain memperkuat ketahanan pangan, proyek-proyek ini juga mendorong terciptanya lapangan kerja baru dan kemandirian teknologi lokal.
Marwansyah berharap, inisiatif ini tidak berhenti di pameran atau laporan penelitian semata. “Kami ingin setiap riset lahir dari masalah riil masyarakat, bukan sekadar ide dosen. Dengan begitu, hasilnya benar-benar bisa membantu masyarakat dan memperkuat ekonomi daerah,” ujarnya menutup.
Dari ruang pamer sederhana di Bandung inilah, semangat vokasi Indonesia bergaung: ilmu bukan untuk disimpan di lemari, tapi untuk memberi makan, menggerakkan, dan menguatkan bangsa.(*)
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |